Nothing Like Us #JCDD2 - Vivi Nur'aeni



Nothing Like Us

“Sesingkat itu mampu membuatku senang dilevel tertinggi kebahagiaan :)
Segera aku klik tombol ‘tweet’ setelah aku selesai menulis pada kotak kecil bertuliskan “What’s Happening?”
            Ku baca sekali lagi SMS-nya :
“Yaudah bsk jgn lupa kumpul di sekre OSIS pagi2, good night ya :)
            Ah sungguh….. aku sangat senang!! Hanya karena sebuah pesan singkat dari kakak kelasku yang sangat aku kagumi. “Bakalan mimpi indah deh malem ini hihi” gumamku.
            Aku melirik jam dinding kamarku, jarum pendek diangka sebelas dan jarum panjang tepat diangka dua belas. Ku rebahkan tubuhku, lalu ku pejamkan mata. Sesekali aku senyum-senyum sendiri mengingat dia yang tak pernah tau bahwa aku mencintainya.

            Pagi-pagi aku bergegas menuju sekretariat OSIS, karena SMS semalam dari dia yang menginstruksikan bahwa seluruh pengurus berkumpul sebelum bel tanda masuk berbunyi.
Tapi apa yang aku dapat? Lagi dan lagi…. Ku lihat dia bersama kekasih belum resminya itu bercanda ria. Ya, maksudku dalam masa PDKT, dan semoga mereka tak pernah resmi menjadi sepasang kekasih.
Aku lebih memilih berdiri mematung diluar pintu. Segera ku keluarkan ponsel pintar milikku, me-log-in akun twitter, untuk apalagi kalau bukan untuk update status, meluapkan apa yang aku rasakan.
“Aku lelah jika harus selalu melihatmu bersamanya.. tak bisakah kau tengok aku sebentar saja?”
Your tweet has been updated!
            Ku tarik nafas dalam-dalam lalu ke hembuskan perlahan.
“Kamu kenapa?” suara yang sangat aku kenal itu mengalihkan pandanganku dari layar smartphone-ku.
“Ngg…nggak kak. Gapapa kok” aku salah tingkah dengan senyum yang aku paksakan.
“Fad, ayo masuk rapatnya mau mulai!” seru cewek cantik gebetan kak Fadilku. What? Fadilku?!
“Ayo masuk San!” kak Fadil menggandeng tanganku untuk masuk. Apa aku bermimpi?! Aku masih terpaku tak percaya.
Rapat berjalan kurang lebih satu jam. Membahas tentang kepanitiaan seminar yang akan diadakan besok di sekolah kami. Daaaaaaaan aku bahagia sekali lagi! Aku dan kak Fadil sama-sama menjabat Sie. Dokumentasi.

Malam ini tak ada bintang yang ku suka seperti biasanya. Ku tengok keluar jendela. Masih berteman suara hujan, dan aku pun masih berkutat dengan fikiranku.
Apakah rasa ini aku ungkapkan saja? Tidak. Tidak mungkin. Aku perempuan, aku menunggu, bukan memulai.
Kak Fadil lebih baik tak pernah tau tentang perasaanku, aku lebih baik diam dalam cintaku. Daripada kak Fadil tau lalu pura-pura membalas rasaku, aku tidak mau. Yang aku mau dia juga mencintaiku tanpa sebelumnya tau bahwa aku mencintainya. Aku bodoh? Ya, entahlah. Cukup! hati dan fikiran ku sudah lelah berdebat tentang rasa ini .....
Esoknya seminar “Internet Sehat” pun dimulai pukul 08.00 di aula sekolah. Beberapa panitia sibuk dengan tugasnya masing-masing. Aku siap dengan camdig ditanganku. Ku lirik kak Fadil, hatiku nyeri. Dia sedang menjepret kak Nila dengan SLR-nya. Akhirnya aku memilih masuk ke aula sendirian untuk menjalankan tugasku.
“Disini siapa saja yang punya blog??” Tanya pemateri kepada peserta seminar.
Beberapa siswa-siswi mengangkat tangan, begitupun aku. Tak ku sangka pemateri bertanya kepadaku. “Isi blognya apa saja neng?”
“Oh., ngg..itu puisi, cerpen…artikel-artikel” jawabku spontan.
“Baguusss.. kita memang harus mengisi blog-blog kita dengan hal-hal yang bermanfaat. Betul???”
“Betuuuuuuulll…!!” jawab peserta serentak.
“Memang alamat blog-mu apa?” Tanya itu mengagetkanku.
“tulisancassandra.blogspot.com” Jawabku singkat.
Kak Fadil hanya mengangguk-angguk.
Entah mengapa aku malas meladeni orang yang aku kagumi ini, mungkin karena aku masih cemburu.

Seminar selesai. Evaluasi pun selesai. Beberapa panitia membubarkan diri, ada juga yang masih betah di sekre. Aku keluar ruangan, duduk di kursi taman depan sekre OSIS. lagi-lagi aku buka jejaring sosial untuk berkicau. Belum melog-in, kak Fadil sudah ada disebelahku. Aku sekuat tenaga mengatur sikapku.
“San, san!” panggil kak Fadil.
 “Ada apa kak?” tanyaku.
Kak Fadil duduk disebelahku membawa gitar.
“Kamu suka sama bieber bieber itu ya? Nanyi lagu favoritmu, kakak yang main gitar” serunya.
“Aku…gak bisa nyanyi kak. Emang kakak tau lagunya JB?” jawabku.
“Aku sih gak terlalu suka, Cuma pas denger Nothing Like US lumayan hehe.. Cuma tau itu doang sih haha” ujarnya lalu memainkan gitarnya, “Yaudah kak dulu ya nanti kamu nyambung” lanjutnya.
“Ooo Oooh Ooo Oh Oh.. Lately I've been thinking, thinking about what we had  
And I know it was hard, it was all that we knew, yeah        
Have you been drinking, to take all the pain away?  
I wish that I could give you what you deserve….lanjutin San!”
“Cause nothing can ever, ever replace you
Nothing can make me feel like you do, yeah
You know there's no one, I can relate to
I know we won't find a love that's so true…”
Lalu kami nyanyi bersama,
“There's nothing like us
There's nothing like you and me
Together through the storm
There's nothing like us
There's nothing like you and me together, oh…”
            Aku dan dia tersenyum bersama.
Dia menghentikan permainan gitarnya, “udah ah gak hafal haha”
“Yee...yaudah!” sahutku manyun.
“Kakak mau ngomong serius nih!” ujarnya antusias.
“Apa??” aku penasaran. Terbesit di otakku bahwa kak Fadil ingin menembakku. Ah mustahil. Ku buang jauh-jauh prasangka bodoh itu.
“Menurutmu kalau aku tembak kak Nila hari ini gimana?? Dia lagi ultah lho…!!”
Aku rasakan waktu berhenti seketika. Aku hanya bisa diam. Tak satupun kata keluar dari mulutku, karena aku rasa aku tak mampu. Sekuat tenaga aku tahan air mataku agar tak jatuh.
“San?? Halo?? Gimana menurutmu?? Kamu udah kaya adikku sendiri, udah setahun kita kenal, jadi aku minta pendapat kamu..!! Ayolah dik” katanya lagi.
“A..aku...” adik? Dia memanggil aku adik? Rasanya aku sangat bahagia dipanggil adik, apalagi jika dipanggil sayang?
“A..aku..aku setuju saja kak jika itu sudah menjadi pilihan kakak…” ucapku sekuat tenaga. Rasanya lebih baik aku lari keliling lapangan upacara tiga kali daripada harus mengeluarkan tenaga untuk mengucapkan kalimat itu.
“Baiklah, terimakasih dik!” dia mencubit pipiku lalu pergi meninggalkanku.
Tak lama air mataku pun tumpah.
“Berteriak dalam diam, menangis tanpa air mata, dan tertawa tanpa suara”
Begitu kicauan-ku.
Entah aku harus senang atau sedih. Mungkin sekarang kak Fadil dan kak Nila telah resmi. Sedangkan aku? Aku masih bertahan dalam cinta diam-ku……..,
“nikmati saja rasa yang semakin menyiksa, bukankah indah terjerat dalam asa penantian? hingga kan terjawab dengan tangis atau tawa”
Aku berkicau sekali lagi.
Ke dengar langkah kaki mendekatiku.
“Ini...” dia menyodorkan tissue untukku.
Aku mendongak. “Rafi???”
Rafi tersenyum lalu pergi meninggalkanku.
***
“Kemanapun tubuhku pergi, kau terus membayangiku”
“Aku tak bisa memusnahkan kau dari pikiranku”
“Di dalam keramaian aku masih merasa sepi sendiri memikirkan kamu….”
Kicauan-ku berturut-turut.
Malam ini indah, bintang bertaburan, tapi tak seindah hatiku.
Ku dengar panggilan telefon, “Kak Fadil” tertera nama itu dilayar ponselku.
“Hallo…. Iya kak?”
“Halo dik… Nila nerima aku loh. Kita jadian!”
Tes…….tes……kali ini aku tak perlu kuat-kuat menahan air mataku karena dia tak akan melihatnya.
“Ohya baguslah kak” komentarku pendek.
“Kamu gak seneng ya?” Tanya seseorang di seberang sana.
“Aku seneng kok kak, selamat ya!” ucapku dengan sedikit senyum paksa. Bodoh, dia kan tidak melihatku.
Telefon pun ditutup.

            Aku duduk diteras rumah, menikmati senja sembari mencorat-coret buku kumpulan puisi-ku.
Cinta tak mengenal waktu..,
berapa sekon kamu tatap mata teduhnya,
berapa menit kamu berada disampingnya,
dan berapa lama masa-mu bersamanya.

Cinta bisa datang kapanpun,
Tak peduli singkatnya kata, 
Tak peduli lamanya jumpa,
Cinta singgah begitu saja.

Meski kadang menyimpan luka,
Meski kadang hanya diam dan menerima,
Percayalah cinta memiliki keindahannya sendiri,
Yang hanya bisa dirasakan di dalam hati.

Aku kembali memutar waktu, dimana saat aku pertama kali jatuh cinta dengan kak Fadil. Hanya karena bertabrakan di perpustakaan, entah mengapa aku tertarik pada sosoknya, aku ingin tau lebih jauh tentang dirinya. Aku merasa nyaman berada didekatnya, dengan melihatnya saja aku merasa tenang dan bahagia. Namanya juga falling in love jadi semua terasa serba indah. Hubungan kami menjadi lebih akrab karena sama-sama menjabat pengurus Organisasi Siswa Intra Sekolah.
Suara motor menyadarkanku dari putaran memoriku. Sosok laki-laki dalam khayalanku tadi kini nyata didepanku. Dia turun dari motornya, membuka helm, lalu tersenyum. “Anter kak Fadil yuk!” serunya. “Kemana?” tanyaku mengerenyitkan dahi. “Beli hadiah buat kak Nila besok aku sama dia resmi jadian satu bulan”. Jawaban yang membuatku kembali merasakan nyeri dihatiku. Aku hanya mengagguk. Aku mengganti baju, sedangkan kak Fadil meminta izin pada ibuku.
Kami tiba di mall dipusat kota.
“Mau beliin apa kak?” tanyaku.
“Enggak tau nih, menurut kamu apa? Cewek sukanya apasih? Boneka ya? Atau aksesoris aja?”
Aku terkekeh.
“Ih kok malah ketawa” ujarnya lalu memasang tampang bête, ah bagiku dia tetap tampan.
“Kakak kayak wartawan sih!”
Kami bercanda sembari menengok kanan-kiri melihat sesuatu yang pas untuk dihadiahkan kepada kak Nila, kekasih dari cinta diam-diam-ku.
Langkah kakiku terhenti. Aku ternganga. Aku kedip-kedipkan mataku untuk memastikan bahwa aku tak salah lihat. Kak Fadil sadar bahwa aku tertinggal, dia berbalik menghampiri. “Kamu liat apa?” tanyanya sambil mengikuti arah mataku.
Ku lihat tangan kak Fadil mengepal. “Kak…kak…” rasanya ingin ku cegah saat ka Fadil menghampiri kekasihnya yang resmi belum satu bulan itu bersama laki-laki lain. Aku mengekor dibelakang kak Fadil.
“Nila!!” panggil kak Fadil emosi.
Kak Nila menoleh kaget, begitupun laki-laki yang tak kami kenal itu.
“Dia siapa hun?” tanya laki-laki itu pada kak Nila.
            “Aku pacarnya! Lo siapa?!” jawab kak Fadil.
            “Gue Niko pacarnya Nila, baru jadian kemaren. Mau apa lo?!” jawab Niko.
            Aku tak percaya ini, kak Nila tega menghianati laki-laki seperti kak Fadil??
            “Nil..nila, jawab gue! Dia siapa?!!” suara kak Fadil meninggi.
            “Dia pacar gue, kenapa?? Ga trima?? Lo sendiri malah jalan sama adik kelas keganjenan ini!!” jawab kak Nila tak kalah tinggi.
            “A..aku…” aku mencoba membela diri.
            “Diem lo!” bentak kak Nila.
            “Denger ya Nila! Dia nemenin aku buat beli hadiah buat anniv kita besok! Tapi kamu malah selingkuh. Aku gak nyangka kamu setega ini! Jadi yang pantes disebut keganjenan itu kamu bukan Sandra!” kak Fadil diam beberapa detik “Kita putus!” lanjutnya.
            Kak Fadil menarik aku pergi menjauh dari kak Nila dan Niko. Aku lihat mukanya memerah penuh emosi, tapi dia tidak menangis. Ku rasa dia cukup kuat. Aku hanya diam, aku takut kalau-kalau salah bicara, yang ada tambah menambah sakit hatinya.
            Kami menuju parkiran, sesegera mungkin meninggalkan mall itu. Tapi aku khawatir kepada kak Fadil. Aku yakin dia amat sangat kecewa. Kami keluar dari parkiran.
            Kak Fadil menyetir tidak seperti biasanya, dia mengendarai motornya dengan kecepatan tak biasa. “Kak…pelan, aku takut!” teriakku agar terdengar ditelinganya. Tapi aku rasa kak Fadil tak menggubrisnya.
            Akhirnya sampai dirumahku, huft… jantungku berdebar lebih cepat.
            “Makasih ya kak, hati-hati, jangan seperti tadi, aku takut kakak kenapa-kenapa”
            Tapi rasanya omonganku tak didengarnya, aku sadar…..aku bukan siapa-siapa. Akhrinya aku hanya bisa berdo’a agar tidak terjadi apa-apa dengan kak Fadil. Aku masuk ke rumah dan langsung ke kamar.
            Ku rebahkan diri di kasur tercinta, dan tak lama terlelap. Belum 30 menit aku memejamkan mata, handphone-ku berbunyi. Merem-melek ku baca nama yang tertera pada layar HP-ku. “Kak Fadil” aku angat telefonnya.
            “Hallo kak? Udah sampe rumah?” tanyaku tanpa menunggu suara diseberang sana.
Tapi aku dengar disana berisik dan banyak suara orang. “Aduh kasian sekali” “Panggil ambulans cepat!” “Minggir-minggir ada polisi” kurang lebih diantara suara-suara berisik itu aku menangkap beberapa suara.
            “Ha..hallo! haloo!!” teriakku.
            “Eh ini diangkat! Cepat bicara!” suara diseberang sana.       
            “Hallo mbak, ini yang punya HP ini kecelakaan, mau dibawa ke rumah sakit sedang menunggu ambulans! Segera hubungi keluarganya ya mbak!” suara yang berbeda mengabarkanku.
            Air mataku deras seketika. Aku tak dapat bicara beberapa detik.
            “Haloo mbak! Hallo!!... Segera ke rumah sakit Siliwangi ya mbak!!”
            Tut..tut..tut…
            Aku segera menuju rumah sakit, aku kabari teman-teman kak Fadil, lalu aku juga meminta tolong agar keluarga kak Fadil dikabari, aku tak punya satupun kontak keluarganya, karena aku bukan siapa-siapa-nya kak Fadil.

            Tiba disana, aku langsung menuju UGD. Tapi tetap saja aku hanya bisa duduk menunggu diluar ruangan. Belum ada siapapun disana, baru ada aku sendiri. Aku hanya bisa terus berdo’a untuk kak Fadil……..,
            Entah mengapa hati ini terus mencaci kak Nila, “ini semua gara-gara kak Nila!” perasaanku terus menyalahkan kak Nila.
            Tak lama teman-teman kak Fadil dan keluarganya tiba. Mereka semua heran melihatku, mungkin dalam fikiran meraka ‘mengapa bukan Nila?’
            Melihat tatapan mereka, aku menceritakan kejadian di mall itu tanpa mereka minta.
“Aku dan kak Fadil berniat mencari hadiah untuk anniv ka Fadil dan ka Nila di mall. Tapi…kami malah melihat kak Nila dengan laki-laki lain. Kak Fadil bertengkar lalu memutuskan hubungannya…”
Aku mengambil nafas. Lalu melanjutkan.
”Tapi setelah itu Kak Fadil tak bisa mengendalikan dirinya setelah kejadian itu…. Dia menyetir motor tak seperti biasanya. Hampir beberapa kali menabrak… Aku sudah ingatkan dia, tapi…” aku menangis sejadi-jadinya.
“Semua ini gara-gara Nila!” “Nila sok laku! Kurang apa coba Fadil?!”
Aku dengar beberapa kekesalan teman maupun keluarga kak Fadil.
“Ini bukan salah kak Nila… ini salahku, andai aku tak memberi tau kak Fadil… ini tak mungkin terjadi” ucapku. Kini aku menyalahkan diriku sendiri. Andai aku tak memberi tahu kak Fadil, andai aku biarkan Nila dan Niko dan membiarkan kak Fadil tak melihatnya saat itu… andai… andai… :’(
            “Bukan San, ini bukan salahmu…., tenanglah!” “Iya San, kamu gak salah”
Meraka menenangkanku. Rafi mengelus-elus pundakku. “Sabar ya San, aku tau gimana perasaanmu”.
            Cukup lama kami menunggu, hingga akhirnya dokter keluar bersamaan dengan ibu dan ayah kak Fadil tiba disana. Ibu kak Fadil menangis berlari menghampiri dokter. “Dok…bagaimana anak saya dok?!! Dia baik-baik saja kan..??!!” sambil sesegukkan.
            “Sabar ya bu, anak ibu masih kritis, kita harus banyak-banyak berdo’a, kami sudah melakukan yang terbaik untuk anak ibu. Permisi..” jawab pak Dokter.
            Ibu kak Fadil masih menangis histeris dipelukkan suaminya. “Ayah…Fadil yah…”
Ayah kak Fadil menenangkan istrinya.
Ya Tuhan…, jangan ambil dia….,
Aku sangat menyayanginya…,
Meski aku diam, itu caraku mencintainya…,
Itu caraku agar bisa terus disampingnya…,
Meski hanya dianggap adik, itu sudah cukup…,
Aku sudah cukup bahagia…, :’)
            Kak Nila datang sendirian, kemana selingkuhannya itu?! Sungguh hatiku sangat kesal. Ku relakan dia dengan kak Fadil, tapi dia malah menyia-nyiakannya. Tapi aku lebih memilih diam. Sedangkan teman dan keluarga kak Fadil memarahi kak Nila.
“Ngapain kamu kesini?!” “Gak tau malu!!” “Cewek gak punya perasaan..!!” “Pergi aja deh lo Nila, gak pantes buat Fadil, gak pantes juga ada disini!!..”
“A..aku..minta maaf!!” aku dengar kalimat itu keluar dari mulut kak Nila, dia menangis lalu pergi. Tapi ku rasa tak ada yang peduli.
***
3 hari berlalu…,
Malam ini aku mencorat-coret buka diary-ku menumpahkan kerinduanku pada kak Fadil.
Malam mulai jatuh namun sepertinya rembulan enggan bertandang,
Dan gerimis pun meninabobokan bintang gemilang..
Sunyi dan sepi dingin mencekam kalbu menusuk sebongkah rindu,
Nyeri dan ngilu duhai sang bayu..
Kemanakah akan ku tambatkan resah dan  gelisah ini?
Dimanakah harus ku sandarkan rindu tak bertepi?
Jika satu membungkam dua maka bulan bertandang ke pagi,
lalu diam dan menusuk hati..
Jengah rada sepi yang menyerobot gelegar petir,
Walau keras, sekeras asa yang mulai rapuh sehingga luruh menjadi abu..
Menjadi  kaku menuju sendu..
Diam, dan nanti ku pinta mimpimu, dari sini, dari tadi, dan dari hati…

Air mataku jatuh lagi, ku paksa terpejam untuk menyambut esok dan berharap mendapat kabar baik dari kak Fadil…

Ku lihat kak Fadil masih betah dalam mimpi panjangnya. Aku masih setia menunggu matanya terbuka. Seperti siang ini, aku menengoknya lagi seperti hari-hari kemarin sepulang sekolah.
Ku lihat tubuhnya yang tak berdaya, dengan alat-alat medis yang terpasang ditubuhnya. “Kak…, kakak dengar aku? Aku kangen kakak. Ayolah kak, buka mata kakak…sebentar saja…” aku menangis lagi. Tak tahan rasanya melihat laki-laki yang aku cintai diam-diam ini hanya diam tak bisa ku ajak bicara.
Tangan kak Fadil bergerak! Aku terus berdo’a agar kak Fadil sadar. Aku memanggil dokter dan orang tua kak Fadil. Beberapa menit kemudian kak Fadil membuka matanya. Dilihatnya satu per satu orang dalam ruangan itu.
“Ibu….ayah….Cassandra….” sebutnya lemah.
“Alhamdulillah kak Fadil sadar…,” ucapan syukur tak henti ku ucapkan.
“Alhamdulillah nak…” ayah dan ibu kak Fadil merasa lega.
Kak Fadil tersenyum. 
            “Fadil sayang ibu dan ayah…dan juga kamu Sandra adikku…” ujarnya.
“Ohya Kakak baca tulisan-tulisan blog kamu, bagus-bagus ya. Kamu lagi suka sama seseorang ya? Wah harus dikejar dong.. ntar diambil orang loh” lanjutnya dengan suara yang masih lemah namun dipaksakan.
“Orang itu kamu kak Fadil kamu!” sahutku dalam hati.
Aku tersenyum. “Kakak masih sakit, perlu istirahat, kok bangun malah bahas blog aku” tapi jawaban yang aku keluarkan berbeda dengan suara hatiku.
“Iya Dil, kamu harus banyak istirahat” ucap ibundanya.
Kak Fadil mengangguk lemah sambil tersenyum, “Fadil memang mau istirahat bu…”
Aku merasakan aneh dengan jawaban kak Fadil, ku tepis jauh-jauh prasangka itu.
Akhirnya aku izin keluar ruangan untuk shalat ashar agar hatiku tenang.
Setelah selesai aku bergegas kembali ke ruang UGD, ku lihat ayah dan ibu serta beberapa keluarga kak Fadil menangis histeris. Ada apa ini…?!
Aku melihat suster di luar pintu, “ada apa sus? Kak Fadil baik-baik aja kan?”
“Maaf mbak.. kak Fadil tidak bisa bertahan, di telah kembali ke Yang Maha Kuasa” jawaban suster itu spontan langsung membuat deras air mataku. “Kak Fadilllllllllll…….!!!!!”
Aku tak percaya ini. Baru saja dia sadar dan mengobrol denganku. Baru saja ku lihat senyumnya…….,
Aku jatuh pingsan. Sadar atau tidak. Ku lihat kak Fadil tersenyum padaku, “jaga dirimu dik, jaga perasaanmu ya” ucapnya lalu lenyap dalam cahaya putih.
“Kaaaaaaak..!!” aku terbangun. “Dimana aku?” tanyaku.
Disebelahku ada Rafi, “kamu pingsan” jawabnya.
“Kak Fadil mana???” tanyaku lagi.
Aku harap aku mimpi buruk. Tapi kejadian sebelum aku tak sadar itu memang nyata setelah aku mendengar jawaban Rafi.
“Dia sudah dibawa pulang untuk dimakamkan San..”
“Antar aku ke rumahnya….” Pintaku dengan air mata kembali mengucur.

Sampai di rumah kak Fadil, orang-orang berpakaian serba hitam menandakan suasana sedang berkabung.
Ku lihat kak Fadil terbujur kaku. Cinta diamku memang akan selamanya diam…... Aku diam saat aku pertama kali jatuh cinta. Aku diam sampai aku dianggap seperti adiknya sendiri. Aku diam sampai dia memilih orang lain. Aku diam sampai dia dimiliki orang lain. Dan, aku tetap diam sampai dia yang ku cinta tak lagi bisa membuka matanya……………… Bagaimana bisa ku ungkapkan sedang raga itu tak lagi bisa ku ajak bicara? :’(
Ku antar dia yang tak pernah tau bahwa aku mencintainya menuju tempat peristirahatan terakhirnya. Andai saja aku ungkapkan perasaan ini, apa dia masih mau berada disampingku? Atau menjauhiku? Masihkah bisa aku menjadi adiknya? Setidaknya aku bisa mengungkapkan rasaku…. Rasa sesal menyelimutiku.
Semua orang telah meninggalkan pemakaman, tapi aku masih bertahan disana.
“Kak…, tulisan-tulisanku itu untuk kak Fadil…, kak.., aku yakin sekarang kakak bisa tau perasaanku dari sana. Dalam keadaan tidak sadar itu, aku ingat kata-kata kakak, agar aku menjaga diriku dan menjaga perasaanku. Aku akan menjaganya kak, untuk kakak. Meski suatu saat aku akan menemukan laki-laki yang kelak menjadi pasanganku, aku tak akan menghapusmu kakak, karena kak Fadil kakakku…orang yang aku anggap kakak namun orang yang juga aku cintai diam-diam…cintaku yang tak pernah bisa aku ungkapkan………”
Air mata tak henti mengalir dari mataku.
“Mungkin banyak selain aku yang memilih memendam cintanya, mencintai diam-diam dengan caranya masing-masing, hanya agar bisa tetap dekat dengan orang yang dicintainya, meski orang itu tak pernah tau…..but nothing like us. This is our story. I always love you…..Fadil Andikha Putra”

Cinta Tak Mengenal Waktu

Cinta tak mengenal waktu..,
berapa sekon kamu tatap mata teduhnya,
berapa menit kamu berada disampingnya,
dan berapa lama masa-mu bersamanya.

Cinta bisa datang kapanpun,
Tak peduli singkatnya kata, 
Tak peduli lamanya jumpa,
Cinta singgah begitu saja.

Meski kadang menyimpan luka,
Meski kadang hanya diam dan menerima,
Percayalah cinta memiliki keindahannya sendiri,
Yang hanya bisa dirasakan di dalam hati.


-VN-

Syair Rindu

Malam mulai jatuh namun sepertinya rembulan engan bertandang,
Dan gerimis pun meninabobokan bintang gemilang..
Sunyi dan sepi dingin mencekam kalbu menusuk sebongkah rindu,
Nyeri dan ngilu duhai sang bayu..
Kemanakah akan ku tambatkan resah dan  gelisah ini?
Dimanakah harus ku sandarkan rindu tak bertepi?

Jika satu membungkam dua maka bunga bertandang ke pagi,
lalu diam dan menusuk hati..
Jengah rada sepi yang menyerobot gelegar petir,
Walau keras, sekeras asa yang mulai rapuh sehingga luruh menjadi abu..
Menjadi  kaku menuju sendu..
Diam, dan nanti ku pinta mimpimu, dari sini, dari tadi, dan dari hati :)


-RF-