My Articel - About Star (Tentang Bintang)


Assalamulaikum…
I like star, ya so much! Do you know star? I believe that you know. Star is a thing ‘kelap-kelip’ at night in the sky ^_^ I don’t know why, I’m so happy if I look so much stars and the full moon. Its beautiful! Seriously!
And how about the function of the stars? Just for decorate the sky? Of course, but not just it. Allah SWT make all things certainly there must be a function. Right?
Okey, in this articles I will explain the function of the stars.
Lets read Surah of al-mulk Ayah 5 below :
وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَآءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِّلشَّيَاطِينِ وَأَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابَ السَّعِيرِ
In Bahasa :
 “Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaitan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala”
In English :
“And indeed We have adorned the nearest heaven with lamps, and We have made such lamps (as) missiles to drive away the Shayatin (devils), and have prepared for them the torment of the blazing Fire”
            Besides for light the sky and decorate the sky, the stars also has the function to drive away the Shayatin (devils). Subhanallah…
            And the last function of the stars are as a direction's device such constellations star a guide for fishermen.
Binguuung ? :D jadi ada 3 fungsi bintang : 1. menerangi dan menghias langit 2. sebagai alat pelempar setan (yang hendak mencari berita di langit) 3. sebagai alat penunjuk arah seperti rasi bintang untuk para nelayan.
            Maybe those are about function of the stars that I know. More or less, Im just can say, sorry.. I hope you’ll give your comment. Thanks sooo much!
Wassalam…

Sesuatu dari Bulan yang Putih


langit begitu gelap tanpa batas..
bintang-bintang tidak bergeming..
dan bulan sudah mulai tertutup awan..
api cinta akan memberi lebih dari yang sekedar yang diharapkan..

apa yang akan terjadi bila roda waktu tiba-tiba berbalik arah?
bumi ini akan semakin buruk..
dan dikuasai oleh srigala yang selalu merias diri namun tak pernah menjadi elok..
maka jangan pernah berhenti menularkan senyum..

karena hanya senyumanmu yang mampu menerbitkan matahari..
mampu meruntuhkan karang, lautan, dan raksasa..
dan bola mataku berkaca, siapakah yang mampu menatap masa depan jika kemudian takut menghinggap?
bulan putih itu tak akan kembali karena dalam sekilas senyummu..


-RF-

MyPuisi - Mencintamu dalam Diam


Aku tau kamu lelah……
Menunggu pesan singkat dariku di setiap detikmu
Melihat senyum paksaku setiap bertemu denganmu
Dan aku menangis di setiap sajadah tempat sujudku

Mengapa semuanya begitu tiba-tiba?
Sadar yang sangat terlambat untuk menyadari
Tak ada yang berarti, semua ini semu
Percuma jika harus berontak, ini semua salah

Memilikimu saat ini hanya hawa nafsuku
Aku belum punya apa-apa untuk membahagiakanmu
Aku tidak takut mereka, aku takut Rabb-ku
Janji ini akan merubah sikapku padamu, sementara waktu

Hanya tertinggal harapan dan keyakinan kita
Rencana-Nya begitu rumit
Sang Khalik lebih tau yang terbaik
Kebahagiaan kita akan datang pada waktunya


Kunci hatiku hanya ada padamu, ukhti
Tunggulah, disaat aku telah merasa siap menjadi imammu
Disaat aku akan datang pada ayahmu untuk meminangmu
Tulang rusuk takkan tertukar dengan milik orang lain

Aku tau kamu sakit……
Aku juga merasakan ini, aku tak sanggup
Aku tak tau apa perasaanmu padaku setelah ini
Aku selalu berdo’a kamu yang akan menjadi pendamping hidupku, selamanya

Kita harus mulai belajar menahan rasa
Mencinta dalam diam, tak harus diungkapkan
Mungkin rasanya membuat tertekan
Namun sesungguhnya kebahagiaan lebih akan dirasakan

Lyric Shalawat - Ya Hana Na

ظَهَرَ الدِّينُ المُؤَيَّد
dzoharoddiinul muayyad
ظَهَرَ الدِّينُ المُؤَيَّد   بِظُهُورِالنَّبِى اَحمَد
dzoharoddiinul muayyad    bidzhuhuurin nabi ahmad
يَا هَنَانَــــــــا بِمُحَمَّد  ذَلِكَ الفَضلُ مِنَ الله
ya hana na nabi muhammad   dzalikal fadhlu minallah
يَا هَنَانَا
ya hana na
خُصَّ بِالسَّبعِ المَثَانِى   وَحَوى لُطفَ المَعَأنِى
khusho bissab’il matsani   wa hawa luthfal ma’ani
مَالَهُ فِى الخَلقِ ثَانِى   وَعَلَيهِ اَنزَلَ الله
ma lahu fil kholqi tsani   wa a’laihi anzalallah
يَا هَنَانَا
ya hana na
مِن مَكَّةٍ لَمَّا ظَهَر    لِاَجلِهِ انشَقَ القَمَر
min makkatillamma dzohar    liajlihin syaqqal qomar
وَافتخَرَت الُ مُضَر   بِهِ عَلى كُلِّ الاَنَام
waf takhorot aalu mudhor     bihi ala kullil anam
يَاهَانَانَأ
ya hana na
اَطيَبُ النَّاسِ خَلقًا   وَاَجَلُّ النَّاسِ خُلُقُا
athyabunnasi kholqon   wa ajallunnasi khuluqon
ذِكرُهُ غَربًا وَشَرقًا   سَائِرٌ وَالحَمدُ لِله
dzikruhu ghorbaw wa syarqon    saa iruw walhamdu lillah
يَاهَنَانَا
ya hana na
صَلُّوا عَلى خَيرِ الاَنَام   المُصطَفَى بَدرِالتَّمَام
shollu a’la khoiril anami   al musthofa badrittamami
صَلُّوا عَلَيهِ وَسَلِّمُوا   يَشفَع لَنَأ يَومَ الزِّحَام
shollu a’laihi wasallimu  yasyfa’ lana yaumazzihami
يَا هَنَانَا
ya hana na

Lyric Shalawat - Busrolana (بُشرَ لَــنَا)

بُشـرَ لَــنَا نِلنَــا المُنَــى زَالَ العَنَــاوَافَى الهَــنَا
وَالدَّ هرُ اَنجَـز وَعدَهُ وَالبِشــرُ اَضـحى مُعلَـــنَا
يَا نَفسُ طِيبِـى بِا للِّقَا يَا عَينُ قَــــرِّى اَعيُنَــــا
هَــذَا جَمَــالُ المُصطَفى اَنوَارُهُ لاَ حَـــت لَنَــــا
يَا طَيبَة مَاذَا نَقُــول وَفِيكِ قَد حَلَّ الرَّسُـــول
وَكُلُّنَـــانَرجُو الوُصُول لِمُحَـــــــمَّدٍ نَبِيِّنَا
يَا رَوضَةَ الهَادِى الشّفِيع وَصَاحِبَيهِ وَالبَقيع
اُكتُب لَنَــا نَحنُ الجَمِيع زِيَارَةً لِحَبِيبِنَا

MyCerpen - Hatiku Tertinggal di Cirebon

Pagi ini aku masih diberi kesempatan untuk membuka mata dikala adzan subuh berkumandang. Aku meraih handphone-ku. ‘1 new message Hafidz Al-Fatih 04:10’  aku baca pesannya “Pagi Za, maaf ya tadi malem ketiduran hehehe”. Aku baru selesai membaca, handphone-ku bergetar lagi, dari Yudha “Morning Riza, have a nice sunday”. Aku menghela nafas, ku putuskan tidak membalas short messages mereka. Aku melangkah ke kamar mandi.
Hari minggu, kota tempat kelahiranku ini ramai oleh anak-anak hingga orang tua bersenam ria di sekitar stadion Bima. Ya, tempat bernama Bima tak asing lagi untuk warga Cirebon. Kebanyakan remaja-remaja seumuranku bersepeda bersama teman ataupun pacar mereka. Karena rumahku di komplek perumahan Bima, cukup hanya berjalan kaki.
            Aku duduk di depan pagar dekat patung Bima. Patung ditengah kolam yang tidak terurus. Patung yang menggambarkan seorang laki-laki gagah sedang berkelahi dengan ular yang tak kalah besar dengan dirinya sedang melililtnya. Sewaktu aku kecil terdengar mitos bahwa setiap malam jum’at patung itu hidup, tapi sampai sekarang mitos itu tidak pernah terbukti. Lucu memang. Mitos itu hanya untuk menakut-nakuti anak kecil yang sulit tidur agar cepat memejamkan matanya.
            “Hey Za, sendiri aja?” suara itu mengagetkanku. Oh ternyata Yudha.
            “Eh, hey.. iya nih hehe, kamu?” jawabku sedikit gelagapan.
            “Sama” jawabnya singkat.
            Yudha, sahabatku sejak SMP. Dia tampan, pintar, anak Karate. Banyak yang mengejar-ngejar ingin menjadi pacarnya, walau aku termasuk secret admirernya dulu, tapi aku tidak menunjukkan hal itu. Tapi anehnya gossip yang tersebar dulu aku berpacaran dengannya. Ya sudahlah, itu dulu. Nampaknya perasaan itu kini memudar seiring berjalannya waktu. Mungkin karena aku tidak melihat respon balik darinya, aku mundur perlahan..  Ah, kenapa aku jadi flashback tiap hanya berdua bersamanya.
            “Za? Kok melamun?” tangan Yudha melambai-lambai didepan wajahku.
            Aku sadar. “Eh, enggak kok.. hehe”
            “Ngelamunin aku ya? Hehe.. ngakuuu..” Yudha menggelitikiku.
            “Eh, haha engga ye PD amat. Geli Yud, haha”
            Yudha menghentikannya. Lalu menatapku dengan arti yang tak dapat ku artikan. Giliranku melambai-lambaikan tanganku didepan wajahnya.
            “Yud? Kesambet patung Bima ya kamu? hihi” mendadak aku merinding sendiri.
            “Za..” Yudha mengamit kedua tanganku.     
            “Eh ngapain? Malu Yud! Aku mencoba melepaskan tanganku, tapi agaknya genggaman Yudha cukup kuat.           
            “Aku sayang kamu Riza.. Will you to be my girlfriend?” kalimat itu tiba-tiba saja terlontar dari mulutnya, tanpa aku duga dan tak pernah aku bayangkan walau dulu aku begitu mengharapkannya. Yudha, kamu terlambat…….
            “Za? Riza?” Yudha terus berusaha menyadarkanku yang sedang termangu.
            Aku lepaskan genggaman tangannya.
            “Maaf yud.. aku.. nggak bisa” entah kenapa aku menjawab tidak. Padahal dulu aku sangat mengharapkannya. Apa karena laki-laki yang baru ku kenal itu? Laki-laki yang bisa mengalihkan fikiran dan hatiku dari Yudha. Laki-laki yang kini sedang mengejar gelar S1 nya di Institut Teknologi Bandung. Laki-laki asal Bandung, teman saudaraku. Katanya liburan semester nanti dia akan berkunjung ke Cirebon, semoga.
            Yudha diam, aku juga. Kami sama-sama diam, canggung. Suasana menjadi  tak bersahabat. Hening, padahal suasana dibima ramai. Tak ada suara, padahal sungguh lalu lalang kendaraan dan canda tawa orang disini begitu jelas.
            Sakit. Aku tau itu yang Yudha rasakan. “Hm.. tapi kita berteman kan?” Yudha mencairkan suasana. Aku mengangguk mantap.
            “Teman” ucap Yudha sembari mengacungkan jari kelingkingnya pertanda persahabatan, aku sambut jari kelingkingnya dengan jari kelingkingku. “Teman” ucapku juga.
            “Tak apalah, yang penting aku sudah mengungkapkan perasaanku sebelum aku meninggalkan Cirebon. Aku sayang kamu Za” Yudha mengusap lembut kepalaku.
            “Emang mau kemana? Maaf Yud, maaf banget..” hanya kata maaf yang bisa aku ucapkan.
            “Ayah pindah tugas ke Solo. Jadi aku juga pindah kuliah disana” Yudha berkata dengan pandangan lurus kedepan.
            Aku diam.
            “Enggak apa-apa kok Za. Aku berangkat besok, baik-baik ya disini. Kita masih bisa komunikasi kok. Kapanpun kamu butuh teman curhat, aku siap dengerin. Kalaupun tadi kamu mau jadi pacarku, kita bakal LDR, dan katanya LDR itu menyiksa. Haha”
            “Yud………”
            Ingin rasanya aku memeluknya, tapi itu tidak mungkin.
            Aku menorehkan luka untuk Yudha sebelum dia meninggalkan Kota Berintan ini. Kenangan pahit.
***
            “Tok Tok Tok!!” Suara pintu diketuk. Dengan langkah malas aku membukanya. “Arif? Ainun? Ya ampun… Gak nyangka kalian dateng!” aku sangat bersemangat. Aku memeluk Ainun. Arif dan Ainun saudaraku dari Bandung datang! “Duh, heboh banget sih” celetuk Ainun. Arif menggeleng-gelengkan kepala “Za Aku bawa seseorang nih” arif bergeser, membuat kau bisa melihat jelas laki-laki yang ada dibelakangnya.
Aku tertegun melihat orang yang Arif bawa siang ini. Aku melepaskan pelukanku dari Ainun. “Assalamualaikum..” ucap laki-laki tingginya lebih sekitar 5cm dariku. “Walaikumsalam…”
Dia tersenyum. Aku pun membalas dengan semanis mungkin.
“Siapa yang datang Za?” Tanya mama sedikit berteriak dari dalam.
“Arif sama Ainun ma. Hmm, ada….Hafidz juga” jawabku sedikit kikuk.
Mama keluar, “eh Ainun, Arif.. mari masuk”
“Yang satu nya enggak disuruh masuk tante? Hehe” jawab Arif.
“Oh, maaf. Siapa ini? Cakep” puji mama. Hafidz mencium tangan mama. “Saya Hafidz tante, teman Arif dan Ainun, teman Riza juga” jawab Hafidz sopan. “Oh.. Hafidz. Mangga mlebet” bebasan mama mulai keluar. “Maksudnya silahkan masuk” jelasku melihat ekspresi Hafidz yang terlihat sedikit bingung. Kami semua tersenyum geli.
Mama mengantar Arif dan Hafidz ke kamar tamu, sedangkan Ainun ke kamarku. “Mau berapa hari disini Nun?” tanyaku. “Nggak tau nih. Terserah Arif aja deh hehe” jawab Ainun sambil menghempaskan tubuhnya dikasur ku.
“Kok Hafidz bisa ikut?”
“Nggak tau tuh, tapi seneng kaaan? Haha bukannya dia udah janji bakal kesini kalo libur semester ya?” Ainun mulai menggodaku.
“Biasa aja. Iya sih.” jawabku sambil menjulurkan lidah padanya.
“Ainun, Riza, ayo makan siang dulu!” terdengar suara mama memanggil kami. Kami pun menuju ruang makan. Hafidz dan Arif sudah duduk dikursi mereka. Posisi dudukku berhadapan dengan Hafidz. Jantungku berdetak tak karuan, fikiranku terus berkata sampai jangan salah tingkah!.
Tak ada percakapan selama makan, memang sudah adabnya begitu. Selesai makan, aku dan Ainun membantu mama merapikan meja makan dan mencuci piring.
“Za, kata Hafidz dia mau ke Masjid At-Taqwa” ucap Arif menghampiriku dan Ainun yang baru selesai mencuci piring. “At-Taqwa? Oh, iya kapan?” tanyaku balik. “Sekarang….”
Hafidz melihatku lalu tersenyum, matanya seakan berbicara “kamu cantik dengan jilbab putihmu”. Hafidz lalu mengalihkan pandangannya. Arif menyetir mobil, Hafidz disebelahnya. Aku dan Ainun dibelakang.
“Oh iya kebetulan banget lagi ada pameran loh di At-Taqwa” kataku ketika mobil sedang berhenti untuk mengisi bensin. “Pameran apa Za?” Tanya Arif. “Pameran buku-buku Islami” jawabku. “Wah.. Rame dong? Cuma buku doang?” sambung Ainun. “Enggak, ada kerudung, gamis, baju, makanan juga. Macem-macem deh” jawabku lagi. Mereka manggut-manggut.
***
Cukup ramai, saking ramainya pusing nyari tempat buat parkir.
Akhirnya. Kami memasuki gedung bertuliskan Islamic Centre yang terletak disebelah Masjid At-Taqwa. Disana terdapat ribuan buku Islami. Aku langsung ngeloyor ke tempat novel-novel Islami. Ya, aku sangat suka membaca novel. Kebetulan harga dipameran memang mendapatkan diskon dari 25% sampai 75%, aku membeli dua buku novel Islami.
Ku lirik Ainun sedang menawar Jilbab yang ingin ia beli, ku alihkan mataku ke arah Arif dan Hafidz mereka sedang membaca buku tentang Fiqih. Aku memandangi Hafidz, tak sadar aku tersenyum-senyum sendiri, dan tanpa aku duga tiba-tiba Hafidz melihat ke arahku. Tatapan kami bertemu. Sungguh, matanya begitu bening dan meneduhkan. Beberapa detik kemudian kami sama-sama mengalihkan pandangan.
Adzan Ashar berkumandang, kami berempat memasuki masjid untuk shalat Ashar berjamaah. Berhubung tamu bulananku datang, aku menunggu mereka di perpustakaan kecil masjid At-Taqwa sembari membaca novel yang aku beli. Perpustakaannya hanya sekitar 3x3 m dan tempatnya tidak tertutup. Hanya ada 3 meja panjang tingginya sekita 50 cm serta beberapa rak buku.
            Seusai shalat, kami beranjak ke lapangan alun-alun Kejaksan, tempatnya masih disekitar masjid. Layaknya pasar, yang biasa kami sebut ‘Pasar Malam’. Disana terdapat berbagai penjual, dari baju, jam tangan, boneka, dan makanan. Aku membeli tahu petis dan martabak telor untuk dibawa pulang. Ada juga permainan anak-anak, seperti kemidi putar, ombak banyu dan karnaval.
            Arif dan Ainun sedang membeli minuman. Aku dan Hafidz menunggu mereka didekat parkiran.
“Itu menara tingginya berapa meter?” Tanya Hafidz sambil menunjuk menara masjid At-Taqwa.
“65 meter”
“Boleh kalau kita kesana?” tanya nya lagi.
Aku menggeleng.
            “Loh? Memang kenapa?”
            “Dulu sih boleh, Cuma disalah gunakan oleh para remaja yang terkana virus merah jambu. Jadi di tutup untuk umum deh” jelasku.
            Hafidz manggut-manggut. “Kamu pernah naik kesana?”
            Aku jawab dengan anggukan. “Disana ada apa aja? Maaf nih nanya melulu, abdi teh teu acan kantos ka Cirebon” bahasa Sundanya keluar. Meski aku orang Cirebon asli, aku sedikit mengerti bahasa Sunda.
“Teng mrika wonten foto-foto jaman bengen” aku sengaja menggunakan bebasan Cirebon untuk mengerjai Hafidz.
“Maneh teh carios naon?” Hafidz membalas dengan bahasa Sunda.
“Sampeyan mboten ngertos?”
Orang Sunda dan Jawa ngobrol dengan bahasa masing-masing itu nggak nyambung sama sekali. Tawa kami pun pecah. “Serius…. Disana ada apa aja?”
Aku masih terkekeh. “Foto-foto jaman dulu gitu deh”.
“O,…” Mulut Hafidz membulat membentuk huruf O.
“Eh, kalau khas orang Cirebon itu kalau ngomong suka ada imbuhan tah sama jeh kan ya?”
“Iya tah? Engga jeh” ups aku langsung menutup mulutku.
Hafidz terbahak.
Sial, niat mau menyangkal malah aku sebutkan dua imbuhan itu. Malu minta ampun!
Arif dan Ainun datang.
“Akhirnya sopirnya dateng..hehe” candaku.
Arif tersenyum kecut.
“Muka gak usah dijelek-jelekin rif, udah jelek tambah jelek deh. Haha” Ainun langsung kabur memasuki mobil.
“Berarti kamu juga jelek Nun, aku kan saudara kembarmu” Arif tak mau kalah.
“Kembar tak berarti sama, kamu jelek ya akunya cantik lah” Ainun meledek Arif lagi.
“Sudah..sudah.. yang cantik aku aja hihi” sambungku.
“Yang cakepnya aku dong?” semua memandang Hafidz. Tawa kami pun kembali pecah memenuhi mobil.
***
Hari kedua mereka disini, mereka terus merayuku untuk keliling Cirebon. Kalau Hafidz aja sih nggak apa-apa, dia memang belum pernah kesini sebelumnya. Tapi saudara kembar tapi tak sama itu? Hampir tiap liburan kemari.
“Ayolah Riza yang cantiiik.. biar Hafidz gak bosen, ajak keliling Cirebon. Ya gak Nun?” begitulah Arif merayuku.
“Iya.. kalau kita sih dirumah aja gak apa-apa, Hafidz kan belum pernah kesini barangkali mau keliling-keliling” Ainun menambahkan.
“Modus” sanggahku.
Hafidz hanya senyum-senyum memperhatikan kami bertiga.
“Ya kalo aku sih, diajak jalan-jalan ayo, dirumah juga nggak apa-apa kok” akhirnya Hafidz angkat bicara.
“Hey kalian ini berisik saja. Riza, mereka kan tamu nggak ada salahnya dong  begitu? Kamu juga emangnya nggak bosen apa dirumah aja?” mama pun menengahi.
“Uhh.. iya iya mama”
“Yess! Tos dulu!” ku dengar Arif dan Ainun berseru. Mereka ke kamar untuk bersiap-siap.
“Kalau kamu keberatan nggak usah Za” ucap Hafidz sembari duduk disebelahku.
“Eh, enggak kok. Cuma hari ini rasanya males banget. PMS kali ya” aku nggak mau mengecewakan mereka tapi sungguh rasanya aku malas untuk berpergian hari ini.
“Yaudah kalo gitu, kita bertiga perginya, kamu dirumah aja”
“Loh, ya nggak bisa gitu.. Udah aku juga mau siap-siap, kamu juga gih” aku meninggalkan Hafidz yang masih terduduk di sofa.
10 menit kemudian, kami memutuskan untuk mengendarai sepeda motor. Arif dan Ainun sudah siap dengan motor mio putih yang biasa digunakan mama kemanapun, aku berdiri di pintu. Modus apalagi ini?! Gerutuku dalam hati. Hafidz sudah siap di motor beat hijau yang biasa aku gunakan ke kampus. Aku masih diam.
“Bengong aja non, itu ojek nya nungguin..hehe” mama tiba-tiba ada dibelakangku.
“Eh, iya ma. Pamit dulu ya” aku mencium tangan mama.
Mau tak mau. Aku kini sudah ada dibelakang laki-laki yang lagi-lagi membuat jantungku mendendangkan nada-nada cinta.
“Kemana dulu nih?” Tanya Arif.
“Terserah” jawabku ketus.
“Jiah ngambek. Gua Sunyaragi aja dulu yang deket” Ainun mengusulkan.
“Oke. Tante, pergi dulu yaa” pamit Arif.
Hafidz hanya melempar senyum pada mama isyarat ikut pamit. Mama membalas.
“Iya, hati-hati ya”
Arif dan Ainun di depan, tentunya mereka masih hafal jalan ke Gua Sunyaragi. Hanya butuh sekitar 10 menit untuk kesana.
Kami pun sampai di Gua Sunyaragi, gua dengan berbagai macam torehan seni. Gaya Eropa, China, Hindu dan Timur Tengah menyatu. Luasnya sekitar 15 hektar. Dulu tempat ini digunakan untuk bertapa dan mengasah ilmu kanuragan para Raja Cirebon, tapi sekarang karena pemerintah setempat yang tidak peduli tempat bersejarah ini tidak terurus.
“Za, kamu jadi pemandu wisataku ya hehe” pinta Hafidz.
“Dengan senang hati”
“Ciye..ciye..” Arif dan Ainun mengoplosi kami.       
Kesel sih, tapi seneng juga.    
            “Tadi cemberut, sekarang senyum-senyum. Labil kamu” ledek Hafidz yang melihat perubahan ekspresiku.
“Orang labil ngapain aja boleh”
Hafidz terkekeh.
“Sunyaragi, sunya artinya sepi, ragi artinya raga. Itu bahasa sansekerta” jelasku.
“Itu namanya Gua Peteng, peteng itu artinya gelap. Di depannya itu patung Perawan Sunti, konon katanya anak gadis yang masih perawan kalau memegang patung itu bakal jadi perawan tua. Patungnya sekarang udah nggak berbentuk tuh liat aja. Kurang lebih ada 10 gua disini” lanjutku.
“Ah mitos itu mah” tanggap Hafidz.
Ainun dan Arif sibuk jeprat-jepret sana-sini. Palingan untuk upload di facebook ataupun pamer di instagram twitter.
Puas berkeliling.
Tujuan kedua kami, Keraton Kesepuhan. Kalau saja mereka kemari saat Peringatan Maulid Nabi pasti disekitar keraton ini ramai pedagang layaknya pasar malam. Ketika adzan duhur terdengar, mereka shalat di Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Masjid yang konon dibangun hanya dengan waktu 1 malam oleh para Wali. Lagi-lagi aku menungu, tapi kali ini diluar masjid. Aku menunggu di warung sambil menikmati good day freeze.
“Masih mau lanjut?” tanyaku ketika mereka kembali.
Mereka bertiga mengangguk mantap. Aku menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Mereka tertawa.
Seharian ini kami benar-benar hampir mengelilingi Cirebon.
Mencoba masakan khas Cirebon, Sega Jamblang Mang Dul di Jalan Cipto yang sudah terkenal dimana-mana. Belanja Batik di Trusmi serta belanja Trasi dan Emping di toko oleh-oleh khas Cirebon untuk dibawa ke Bandung.
Aku sangat senang, meski awalnya malas minta ampun. Aku senang bisa mengobrol dengan Hafidz, bercanda dengannya. Bisa lebih mengenalnya.
Mengapa hari ini begitu cepat? Nampaknya sang waktu iri pada kebersamaan aku dan Hafidz. Sungguh, tak ingin ku akhiri saat-saat bersamanya seperti saat ini.
“Besok kamu pulang ke Bandung ya?” tanyaku sedikit berteriak, karena jalanan cukup ramai.
“Iya nih. Jangan kangen ya. Hehehe” jawab Hafidz tak kalah berteriak.
Aku hanya tersenyum. Biarlah Hafidz konsen menyetir, kalau diajak ngobrol terus bahaya juga.
***
Rasanya aku tak ingin hari ini tiba! Hafidz dan saudara kembar itu akan kembali ke Bandung.
“Makasih buat semuaanya ya tante, maaf kalo ngerepotin. Hehehe” Arif berpamitan pada mama.
“Salam buat om ya tante kalau pulang nanti, lagi keluar kota ya?” Ainun menambahi.
“Nggak ngerepotin kok, tante malah seneng ada kalian. Rumah jadi rame, Riza juga nggak sendirian. Iya om lagi ke Banten, ntar salamnya tante sampein kok”
“Fidz, mau ngomong sesuatu nggak sama Riza?” celoteh Arif.
“Eh apaan sih” sergahku.
Hafidz menggeleng tersenyum, “enggak ada”
Jujur, sedikit ada rasa kecewa dihatiku. Apa perasaan ini hanya aku saja yang merasakan?
Setelah mereka pergi, aku merapihkan kamar tamu tempat Arif dan Hafidz tidur. Ada buku kecil, seperti buku diary tergeletak di lantai sebelah tempat tidur. Aku membukanya. Tertulis “Milik Hafidz Al-Fatih (Sang Penakluk)”. Iya Fidz, kamu berhasil menaklukan hatiku……..
Dihalaman terakhir, tertulis :
“Aku bukan hanya jatuh cinta pada Kota Udang ini, pada bebasan Cirebon yang tak sama sekali aku mengerti, tapi aku juga jatuh cinta pada gadis bernama Riza. Hatiku tertinggal di Cirebon :)"