Twenty Seven Stars
Aku menuju
balkon, menghirup angin malam. Aku duduk bersandar pada tembok dengan cat ungu
ini. Aku melihat langit. “Bintang..” gumamku sembari tersenyum. Ya, I love star
so much! Aku menghitung bintang, ya aku tau ini bodoh. Ya, cuma iseng sih.
Hitungan 27, aku berhenti. Aku perhatikan bintang yang sudah aku hitung, aku
berhenti menghitung. Imajinasiku mulai merangkai bintang demi bintang.
“Rizal..” desisku. Aku tersenyum.
“Kamu bisa
ngerti rumus-rumus menyebalkan itu! Tapi kamu ga bisa ngertiin aku!” Aku
meluapkan rasa kesalku kepada Rizal, sahabatku. “Emangnya aku harus ngertiin
kamu gitu? Kamu siapa?” pertanyaan Rizal seakan membuat rasa sesak di dadaku
“Aku..” mataku berkaca-kaca. Bisa saja aku berkata bahwa aku ini sahabatnya,
tapi entahlah. Ya, aku memang bukan siapa-siapa. Aku nfnmeninggalkan kelas yang
sudah sepi itu. Rizal tetap diam ditempatnya. Dia bahkan tidak mengejarku..
Esoknya seperti
tak terjadi hal apa-apa, aku duduk melamun dibangkuku. Rizal menghampiri, “hoy!
Ngelamun aja lo pagi-pagi”. Jujur aku tidak bersemangat pagi ini. Aku hanya
tersenyum tipis, sangat tipis. Rizal duduk disebelahku, “btw, maaf ya buat
kemarin” ucapnya. Aku mendelik. Dia tersenyum. Oh God, he has the sweetest
smile! Aku terhipnotis senyumannya yang manis itu. Rizal memandangku heran.
“Hey! Sadar Nur! Maafin ngga nih?” tanyanya lagi. Aku sadar, “Oh, eh.. iya
gapapa kok. Aku memang bukan siapa-siapa” tiba-tiba kalimat itu terlontar
begitu saja. “Kamu kok ngomongnya gitu? Kamu kan sahabat aku.” Jawab Rizal. Ya,
hanya sahabat. Aku mengiyakan.
Rizal beranjak
ke kelasnya, tapi dia berbalik “pulang sekolah ada kegiatan nggak?”, aku
menggeleng, “emang kenapa?” tanyaku. “hmm, mau ngajak jalan aja sih.
Itung-itung permintaan maaf. Gimana?” oh God! Jalan? Maksudnya ngedate? Rasanya
aku……ngefly. Oke, stop. Aku tidak mau terbang terlalu tinggi, ntar jatoh malah
sakit. “Boleh…” kataku. Sekali lagi senyuman itu aku lihat sebelum akhirnya dia
benar-benar sudah tidak terlihat.
***
Rizal mengajakku
ke sebuah pantai. Disana ada dua ayunan, aku dan Rizal seperti mengulang masa
TK kami. Ya, aku dan dia bersahabat sejak TK. Sore ini cukup ramai, aku dan dia
ingin melihat matahari tenggelam. Aku dan dia bermain kejar-kejaran seperti
anak kecil, bermain air, dan sesekali berfoto, dia menjadi fotografernya. Ada
satu foto dimana kami berfoto bersama. Rasanya senang sekali. Aku dan dia
seperti sepasang kekasih, tapi nyatanya kami hanya bersahabat. Lalu, salahkah
aku jika mengharapkan dia menjadi kekasihku?
Rizal sedang mengabadikan sunset
dengan camera digitalnya, aku memandanginya. Dulu, si gendut menyebalkan itu
kini telah berubah menjadi laki-laki tampan namun masih saja menyebalkan. Dia
pandai dalam bidang eksak, tapi tidak denganku. Bisa dibilang aku membenci
pelajaran yang dia sukai, dan sebaliknya. Aku suka sekali bahasa Inggris, tapi
dia tidak sama sekali. Ya terkadang hidup saling melengkapi.
Ada perempuan
yang suka sama Rizal, namanya Rani. Dia cantik, model lagi. Tapi kayaknya Rizal
ga tertarik, walau hanya untuk menjadi teman dekatnya. Dia lebih memilih aku
sebagai sahabatnya. Kadang aku berfikir apa yang dia lihat dariku? Dari orang
seperti aku? Nggak cantik, nggak pinter, pastinya nggak perfect. Banyak
kekurangan, apa kelebihanku dibanding Rani? Sudahlah, terkadang akujuga
berfikir bahwa Rizal memilik perasaan yang sama terhadapku, tapi aku buang
jauh-jauh prasangka itu. Andai dia tau, rasa ini telah lama aku pendam, namun
takkan pernah bisa aku ungkapkan.
***
Bagiku dia
bintangku, yang setia menemaniku malamku, yang bercahaya, yang berkelap-kelip
dan indah ketika dirangkai..dialah Rizal, sahabatku. Bisakah dibayangkan
bagaimana rasanya ketika orang yang kita sayangi, menyayangi orang lain? Itu
yang aku rasakan, karena dia sahabatku dia bercerita tentang perempuan yang dia
suka, bahkan ketika dia punya pacar dia selalu cerita padaku, terkadang
menanyakan tentang perempuan. Aku hanya bisa menjawab “mana aku tau, kamu kan
tau sendiri aku gak pernah punya pacar”, dia langsung terkekeh dan meledek “makannya
punya pacar, backstreet aja biar ortu mu nggak tau”. Aku hanya bisa menjawab
dalam hati “yang aku mau itu kamu, yang aku tunggu itu kamu zal!!”.
Terakhir Rizal
berpacaran dengan Riri, tapi nggak lama putus, katanya masih kaya anak kecil.
Yah, aku sebagai sahabatnya bingung mau senang atau sedih. Huhu. Rizal, kapan
kamu sadar kalau disini ada aku yang nunggu kamu.. sejak TK aku sudah
menyukainya, halah ku pikir hanya perasaan seorang anak berumur 5 tahun.
Kemudian kami satu SD, semakin akrab. Lalu beranjak di SMP dan SMA, walau
berbeda kelas. Tak terasa.. 13 tahun perasaan ini aku simpan. Tak pernah aku
menyukai orang lain, Zal. Tapi kamu gak pernah sadar. Atau mungkin aku yang tak
pernah menunjukkanmu rasa ini?
***
Acara
penglepasan pun berakhir. “Yuk pulang!” ajak Rizal. Aku mengangguk, padahal hati ini rasanya tidak karuan.
Diperjalanan, kami berhenti disebuah taman. “Kok berhenti?” tanyaku, “mau ice
cream nggak? Ada tukang ice cream tuh” tawarnya. “hmm, boleh..” jawabku. Aku
dan Rizal ngobrol-ngobrol sambil menikmati ice cream coklat kami. “Yakin mau
ngambil jurusan bahasa Inggris? Kenapa nggak matematika aja sama aku?”
pertanyaan Rizal sedikit mengejek, ya aku tau. “ku sama kamu tuh beda” jawabku
datar. “Hmm, berbeda nggak berarti ga bisa saling melengkapi dan bersatu kan?”
hey, pertanyaan macam apa itu. Aku mengerenyitkan dahi. “Nuri Islami..” dia
menyebut nama lengkapku, “ya?” aku menatapnya, dia menatap lurus ke depan. “I
just wanna say…” dia menatap balik dan melanjutkan “I love you”. Rasanya ice cream coklat ku tak bisa aku
telan, “what?!” aku benar-benar…..tidak menyangka. “kidding, huh?” tanyaku.
“apa wajahku terlihat seperti sedang bercanda?” aku menatap matanya. “mungkin
kamu heran, ya aku juga heran sama perasaanku ini” jelasnya. “maksudmu?”
tanyaku sedikit kepo, eh bukan kepo tapi penasaran._.
“Perasaan aku ke
kamu beda, aku udah pacaran berapa kali ya.. ntah deh, tapi rasanya perasaan
itu dari dulu buat kamu gapernah berubah. Aku mencoba mengalihkan perasaan itu
ke cewek lain yang udah pernah jadi pacar aku, tapi tetep nggak bisa. Aku
sebenernya…..sayang kamu. Tapi aku takut, kamu nggak punya perasaan yang sama.
Karena kamu sahabatku dan kamu juga kan nggak dibolehin pacaran.” panjang lebar
Rizal menjelaskan, dan aku hanya bisa tercengang. I can’t believe that! Selama
ini, Rizal punya perasaan yang sama.
Aku tersenyum
lalu menjawab “malam itu aku menghitung bintang, hitungan 27 sesuai absen kamu
aku berhenti, dan merangkainya. Do you know? Bintang yang aku rangkai itu
menjadi sebuah nama, yaitu nama kamu, Rizal. Rasanya aku seneng banget walau
cuma memiliki rasa ini walau nggak pernah bisa ngungkapinnya.. Aku fikir kamu
ngggak punya perasaan yang sama apa yang aku rasain selama ini. For me, you are
my star!”
Aku dan Rizal
benar-benar bahagia, kami nggak pacaran, kami tetap bersahabat tapi kami
menjaga perasaan ini tetap utuh sampai nanti…...saat waktunya tiba, karena
orang tuaku melarangku untuk menjalani sebuah ‘relationship’ dan Rizal tau itu.
Semua indah pada waktunya.
*hanya sebuah karangan fiktif, buat teman2 jgn disalah artikan loh ya-___-*
Bnyak yg perlu dipertanyakan nih :-D
BalasHapusApasih hap .__. hihi
BalasHapus