Pagi ini aku
masih diberi kesempatan untuk membuka mata dikala adzan subuh berkumandang. Aku
meraih handphone-ku. ‘1 new message Hafidz Al-Fatih 04:10’ aku baca pesannya “Pagi Za, maaf ya tadi malem ketiduran hehehe”. Aku baru selesai
membaca, handphone-ku bergetar lagi, dari Yudha “Morning Riza, have a nice sunday”. Aku menghela nafas, ku putuskan tidak
membalas short messages mereka. Aku melangkah ke kamar mandi.
Hari minggu,
kota tempat kelahiranku ini ramai oleh anak-anak hingga orang tua bersenam ria
di sekitar stadion Bima. Ya, tempat bernama Bima tak asing lagi untuk warga
Cirebon. Kebanyakan remaja-remaja seumuranku bersepeda bersama teman ataupun
pacar mereka. Karena rumahku di komplek perumahan Bima, cukup hanya berjalan
kaki.
Aku duduk di depan pagar dekat
patung Bima. Patung ditengah kolam yang tidak terurus. Patung yang menggambarkan
seorang laki-laki gagah sedang berkelahi dengan ular yang tak kalah besar
dengan dirinya sedang melililtnya. Sewaktu aku kecil terdengar mitos bahwa setiap
malam jum’at patung itu hidup, tapi sampai sekarang mitos itu tidak pernah
terbukti. Lucu memang. Mitos itu hanya untuk menakut-nakuti anak kecil yang
sulit tidur agar cepat memejamkan matanya.
“Hey Za, sendiri aja?” suara itu
mengagetkanku. Oh ternyata Yudha.
“Eh, hey.. iya nih hehe, kamu?”
jawabku sedikit gelagapan.
“Sama” jawabnya singkat.
Yudha, sahabatku sejak SMP. Dia
tampan, pintar, anak Karate. Banyak yang mengejar-ngejar ingin menjadi
pacarnya, walau aku termasuk secret admirernya dulu, tapi aku tidak menunjukkan
hal itu. Tapi anehnya gossip yang tersebar dulu aku berpacaran dengannya. Ya
sudahlah, itu dulu. Nampaknya perasaan itu kini memudar seiring berjalannya
waktu. Mungkin karena aku tidak melihat respon balik darinya, aku mundur
perlahan.. Ah, kenapa aku jadi flashback
tiap hanya berdua bersamanya.
“Za? Kok melamun?” tangan Yudha
melambai-lambai didepan wajahku.
Aku sadar. “Eh, enggak kok.. hehe”
“Ngelamunin aku ya? Hehe..
ngakuuu..” Yudha menggelitikiku.
“Eh, haha engga ye PD amat. Geli
Yud, haha”
Yudha menghentikannya. Lalu
menatapku dengan arti yang tak dapat ku artikan. Giliranku melambai-lambaikan
tanganku didepan wajahnya.
“Yud? Kesambet patung Bima ya kamu?
hihi” mendadak aku merinding sendiri.
“Za..” Yudha mengamit kedua
tanganku.
“Eh ngapain? Malu Yud! Aku mencoba
melepaskan tanganku, tapi agaknya genggaman Yudha cukup kuat.
“Aku sayang kamu Riza.. Will you to
be my girlfriend?” kalimat itu tiba-tiba saja terlontar dari mulutnya, tanpa
aku duga dan tak pernah aku bayangkan walau dulu aku begitu mengharapkannya.
Yudha, kamu terlambat…….
“Za? Riza?” Yudha terus berusaha
menyadarkanku yang sedang termangu.
Aku lepaskan genggaman tangannya.
“Maaf yud.. aku.. nggak bisa” entah
kenapa aku menjawab tidak. Padahal dulu aku sangat mengharapkannya. Apa karena
laki-laki yang baru ku kenal itu? Laki-laki yang bisa mengalihkan fikiran dan
hatiku dari Yudha. Laki-laki yang kini sedang mengejar gelar S1 nya di Institut
Teknologi Bandung. Laki-laki asal Bandung, teman saudaraku. Katanya liburan
semester nanti dia akan berkunjung ke Cirebon, semoga.
Yudha diam, aku juga. Kami sama-sama
diam, canggung. Suasana menjadi tak
bersahabat. Hening, padahal suasana dibima ramai. Tak ada suara, padahal
sungguh lalu lalang kendaraan dan canda tawa orang disini begitu jelas.
Sakit. Aku tau itu yang Yudha
rasakan. “Hm.. tapi kita berteman kan?” Yudha mencairkan suasana. Aku
mengangguk mantap.
“Teman” ucap Yudha sembari
mengacungkan jari kelingkingnya pertanda persahabatan, aku sambut jari
kelingkingnya dengan jari kelingkingku. “Teman” ucapku juga.
“Tak apalah, yang penting aku sudah
mengungkapkan perasaanku sebelum aku meninggalkan Cirebon. Aku sayang kamu Za”
Yudha mengusap lembut kepalaku.
“Emang mau kemana? Maaf Yud, maaf banget..”
hanya kata maaf yang bisa aku ucapkan.
“Ayah pindah tugas ke Solo. Jadi aku
juga pindah kuliah disana” Yudha berkata dengan pandangan lurus kedepan.
Aku diam.
“Enggak apa-apa kok Za. Aku
berangkat besok, baik-baik ya disini. Kita masih bisa komunikasi kok. Kapanpun
kamu butuh teman curhat, aku siap dengerin. Kalaupun tadi kamu mau jadi
pacarku, kita bakal LDR, dan katanya LDR itu menyiksa. Haha”
“Yud………”
Ingin rasanya aku memeluknya, tapi
itu tidak mungkin.
Aku menorehkan luka untuk Yudha sebelum
dia meninggalkan Kota Berintan ini. Kenangan pahit.
***
“Tok Tok Tok!!” Suara pintu diketuk.
Dengan langkah malas aku membukanya. “Arif? Ainun? Ya ampun… Gak nyangka kalian
dateng!” aku sangat bersemangat. Aku memeluk Ainun. Arif dan Ainun saudaraku
dari Bandung datang! “Duh, heboh banget sih” celetuk Ainun. Arif
menggeleng-gelengkan kepala “Za Aku bawa seseorang nih” arif bergeser, membuat
kau bisa melihat jelas laki-laki yang ada dibelakangnya.
Aku tertegun
melihat orang yang Arif bawa siang ini. Aku melepaskan pelukanku dari Ainun. “Assalamualaikum..”
ucap laki-laki tingginya lebih sekitar 5cm dariku. “Walaikumsalam…”
Dia tersenyum.
Aku pun membalas dengan semanis mungkin.
“Siapa yang
datang Za?” Tanya mama sedikit berteriak dari dalam.
“Arif sama Ainun
ma. Hmm, ada….Hafidz juga” jawabku sedikit kikuk.
Mama keluar, “eh
Ainun, Arif.. mari masuk”
“Yang satu nya
enggak disuruh masuk tante? Hehe” jawab Arif.
“Oh, maaf. Siapa
ini? Cakep” puji mama. Hafidz mencium tangan mama. “Saya Hafidz tante, teman Arif
dan Ainun, teman Riza juga” jawab Hafidz sopan. “Oh.. Hafidz. Mangga mlebet”
bebasan mama mulai keluar. “Maksudnya silahkan masuk” jelasku melihat ekspresi
Hafidz yang terlihat sedikit bingung. Kami semua tersenyum geli.
Mama mengantar
Arif dan Hafidz ke kamar tamu, sedangkan Ainun ke kamarku. “Mau berapa hari
disini Nun?” tanyaku. “Nggak tau nih. Terserah Arif aja deh hehe” jawab Ainun
sambil menghempaskan tubuhnya dikasur ku.
“Kok Hafidz bisa
ikut?”
“Nggak tau tuh,
tapi seneng kaaan? Haha bukannya dia udah janji bakal kesini kalo libur
semester ya?” Ainun mulai menggodaku.
“Biasa aja. Iya
sih.” jawabku sambil menjulurkan lidah padanya.
“Ainun, Riza,
ayo makan siang dulu!” terdengar suara mama memanggil kami. Kami pun menuju
ruang makan. Hafidz dan Arif sudah duduk dikursi mereka. Posisi dudukku
berhadapan dengan Hafidz. Jantungku berdetak tak karuan, fikiranku terus
berkata sampai jangan salah tingkah!.
Tak ada
percakapan selama makan, memang sudah adabnya begitu. Selesai makan, aku dan
Ainun membantu mama merapikan meja makan dan mencuci piring.
“Za, kata Hafidz
dia mau ke Masjid At-Taqwa” ucap Arif menghampiriku dan Ainun yang baru selesai
mencuci piring. “At-Taqwa? Oh, iya kapan?” tanyaku balik. “Sekarang….”
Hafidz melihatku
lalu tersenyum, matanya seakan berbicara “kamu cantik dengan jilbab putihmu”. Hafidz
lalu mengalihkan pandangannya. Arif menyetir mobil, Hafidz disebelahnya. Aku
dan Ainun dibelakang.
“Oh iya
kebetulan banget lagi ada pameran loh di At-Taqwa” kataku ketika mobil sedang
berhenti untuk mengisi bensin. “Pameran apa Za?” Tanya Arif. “Pameran buku-buku
Islami” jawabku. “Wah.. Rame dong? Cuma buku doang?” sambung Ainun. “Enggak,
ada kerudung, gamis, baju, makanan juga. Macem-macem deh” jawabku lagi. Mereka
manggut-manggut.
***
Cukup ramai,
saking ramainya pusing nyari tempat buat parkir.
Akhirnya. Kami
memasuki gedung bertuliskan Islamic Centre yang terletak disebelah Masjid
At-Taqwa. Disana terdapat ribuan buku Islami. Aku langsung ngeloyor ke tempat
novel-novel Islami. Ya, aku sangat suka membaca novel. Kebetulan harga
dipameran memang mendapatkan diskon dari 25% sampai 75%, aku membeli dua buku
novel Islami.
Ku lirik Ainun
sedang menawar Jilbab yang ingin ia beli, ku alihkan mataku ke arah Arif dan
Hafidz mereka sedang membaca buku tentang Fiqih. Aku memandangi Hafidz, tak
sadar aku tersenyum-senyum sendiri, dan tanpa aku duga tiba-tiba Hafidz melihat
ke arahku. Tatapan kami bertemu. Sungguh, matanya begitu bening dan meneduhkan.
Beberapa detik kemudian kami sama-sama mengalihkan pandangan.
Adzan Ashar
berkumandang, kami berempat memasuki masjid untuk shalat Ashar berjamaah.
Berhubung tamu bulananku datang, aku menunggu mereka di perpustakaan kecil
masjid At-Taqwa sembari membaca novel yang aku beli. Perpustakaannya hanya
sekitar 3x3 m dan tempatnya tidak tertutup. Hanya ada 3 meja panjang tingginya
sekita 50 cm serta beberapa rak buku.
Seusai shalat, kami beranjak ke
lapangan alun-alun Kejaksan, tempatnya masih disekitar masjid. Layaknya pasar,
yang biasa kami sebut ‘Pasar Malam’. Disana terdapat berbagai penjual, dari
baju, jam tangan, boneka, dan makanan. Aku membeli tahu petis dan martabak
telor untuk dibawa pulang. Ada juga permainan anak-anak, seperti kemidi putar,
ombak banyu dan karnaval.
Arif dan Ainun sedang membeli
minuman. Aku dan Hafidz menunggu mereka didekat parkiran.
“Itu menara
tingginya berapa meter?” Tanya Hafidz sambil menunjuk menara masjid At-Taqwa.
“65 meter”
“Boleh kalau
kita kesana?” tanya nya lagi.
Aku menggeleng.
“Loh? Memang kenapa?”
“Dulu sih boleh, Cuma disalah
gunakan oleh para remaja yang terkana virus merah jambu. Jadi di tutup untuk
umum deh” jelasku.
Hafidz manggut-manggut. “Kamu pernah
naik kesana?”
Aku jawab dengan anggukan. “Disana
ada apa aja? Maaf nih nanya melulu, abdi teh teu acan kantos ka Cirebon” bahasa
Sundanya keluar. Meski aku orang Cirebon asli, aku sedikit mengerti bahasa
Sunda.
“Teng mrika
wonten foto-foto jaman bengen” aku sengaja menggunakan bebasan Cirebon untuk
mengerjai Hafidz.
“Maneh teh
carios naon?” Hafidz membalas dengan bahasa Sunda.
“Sampeyan mboten
ngertos?”
Orang Sunda dan
Jawa ngobrol dengan bahasa masing-masing itu nggak nyambung sama sekali. Tawa
kami pun pecah. “Serius…. Disana ada apa aja?”
Aku masih
terkekeh. “Foto-foto jaman dulu gitu deh”.
“O,…” Mulut
Hafidz membulat membentuk huruf O.
“Eh, kalau khas
orang Cirebon itu kalau ngomong suka ada imbuhan tah sama jeh kan ya?”
“Iya tah? Engga
jeh” ups aku langsung menutup mulutku.
Hafidz terbahak.
Sial, niat mau
menyangkal malah aku sebutkan dua imbuhan itu. Malu minta ampun!
Arif dan Ainun
datang.
“Akhirnya
sopirnya dateng..hehe” candaku.
Arif tersenyum
kecut.
“Muka gak usah
dijelek-jelekin rif, udah jelek tambah jelek deh. Haha” Ainun langsung kabur
memasuki mobil.
“Berarti kamu
juga jelek Nun, aku kan saudara kembarmu” Arif tak mau kalah.
“Kembar tak
berarti sama, kamu jelek ya akunya cantik lah” Ainun meledek Arif lagi.
“Sudah..sudah..
yang cantik aku aja hihi” sambungku.
“Yang cakepnya
aku dong?” semua memandang Hafidz. Tawa kami pun kembali pecah memenuhi mobil.
***
Hari kedua
mereka disini, mereka terus merayuku untuk keliling Cirebon. Kalau Hafidz aja
sih nggak apa-apa, dia memang belum pernah kesini sebelumnya. Tapi saudara
kembar tapi tak sama itu? Hampir tiap liburan kemari.
“Ayolah Riza
yang cantiiik.. biar Hafidz gak bosen, ajak keliling Cirebon. Ya gak Nun?”
begitulah Arif merayuku.
“Iya.. kalau
kita sih dirumah aja gak apa-apa, Hafidz kan belum pernah kesini barangkali mau
keliling-keliling” Ainun menambahkan.
“Modus”
sanggahku.
Hafidz hanya
senyum-senyum memperhatikan kami bertiga.
“Ya kalo aku
sih, diajak jalan-jalan ayo, dirumah juga nggak apa-apa kok” akhirnya Hafidz angkat
bicara.
“Hey kalian ini
berisik saja. Riza, mereka kan tamu nggak ada salahnya dong begitu? Kamu juga emangnya nggak bosen apa
dirumah aja?” mama pun menengahi.
“Uhh.. iya iya
mama”
“Yess! Tos
dulu!” ku dengar Arif dan Ainun berseru. Mereka ke kamar untuk bersiap-siap.
“Kalau kamu
keberatan nggak usah Za” ucap Hafidz sembari duduk disebelahku.
“Eh, enggak kok.
Cuma hari ini rasanya males banget. PMS kali ya” aku nggak mau mengecewakan
mereka tapi sungguh rasanya aku malas untuk berpergian hari ini.
“Yaudah kalo
gitu, kita bertiga perginya, kamu dirumah aja”
“Loh, ya nggak
bisa gitu.. Udah aku juga mau siap-siap, kamu juga gih” aku meninggalkan Hafidz
yang masih terduduk di sofa.
10 menit
kemudian, kami memutuskan untuk mengendarai sepeda motor. Arif dan Ainun sudah
siap dengan motor mio putih yang biasa digunakan mama kemanapun, aku berdiri di
pintu. Modus apalagi ini?! Gerutuku dalam hati. Hafidz sudah siap di motor beat
hijau yang biasa aku gunakan ke kampus. Aku masih diam.
“Bengong aja
non, itu ojek nya nungguin..hehe” mama tiba-tiba ada dibelakangku.
“Eh, iya ma.
Pamit dulu ya” aku mencium tangan mama.
Mau tak mau. Aku
kini sudah ada dibelakang laki-laki yang lagi-lagi membuat jantungku
mendendangkan nada-nada cinta.
“Kemana dulu
nih?” Tanya Arif.
“Terserah”
jawabku ketus.
“Jiah ngambek. Gua
Sunyaragi aja dulu yang deket” Ainun mengusulkan.
“Oke. Tante,
pergi dulu yaa” pamit Arif.
Hafidz hanya
melempar senyum pada mama isyarat ikut pamit. Mama membalas.
“Iya, hati-hati
ya”
Arif dan Ainun
di depan, tentunya mereka masih hafal jalan ke Gua Sunyaragi. Hanya butuh
sekitar 10 menit untuk kesana.
Kami pun sampai
di Gua Sunyaragi, gua dengan berbagai macam torehan seni. Gaya Eropa, China,
Hindu dan Timur Tengah menyatu. Luasnya sekitar 15 hektar. Dulu tempat ini
digunakan untuk bertapa dan mengasah ilmu kanuragan para Raja Cirebon, tapi
sekarang karena pemerintah setempat yang tidak peduli tempat bersejarah ini
tidak terurus.
“Za, kamu jadi
pemandu wisataku ya hehe” pinta Hafidz.
“Dengan senang
hati”
“Ciye..ciye..”
Arif dan Ainun mengoplosi kami.
Kesel sih, tapi
seneng juga.
“Tadi cemberut, sekarang
senyum-senyum. Labil kamu” ledek Hafidz yang melihat perubahan ekspresiku.
“Orang labil
ngapain aja boleh”
Hafidz terkekeh.
“Sunyaragi,
sunya artinya sepi, ragi artinya raga. Itu bahasa sansekerta” jelasku.
“Itu namanya Gua
Peteng, peteng itu artinya gelap. Di depannya itu patung Perawan Sunti, konon
katanya anak gadis yang masih perawan kalau memegang patung itu bakal jadi
perawan tua. Patungnya sekarang udah nggak berbentuk tuh liat aja. Kurang lebih
ada 10 gua disini” lanjutku.
“Ah mitos itu
mah” tanggap Hafidz.
Ainun dan Arif
sibuk jeprat-jepret sana-sini. Palingan untuk upload di facebook ataupun pamer
di instagram twitter.
Puas berkeliling.
Tujuan kedua
kami, Keraton Kesepuhan. Kalau saja mereka kemari saat Peringatan Maulid Nabi
pasti disekitar keraton ini ramai pedagang layaknya pasar malam. Ketika adzan
duhur terdengar, mereka shalat di Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Masjid yang
konon dibangun hanya dengan waktu 1 malam oleh para Wali. Lagi-lagi aku
menungu, tapi kali ini diluar masjid. Aku menunggu di warung sambil menikmati
good day freeze.
“Masih mau
lanjut?” tanyaku ketika mereka kembali.
Mereka bertiga
mengangguk mantap. Aku menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Mereka
tertawa.
Seharian ini
kami benar-benar hampir mengelilingi Cirebon.
Mencoba masakan
khas Cirebon, Sega Jamblang Mang Dul di Jalan Cipto yang sudah terkenal
dimana-mana. Belanja Batik di Trusmi serta belanja Trasi dan Emping di toko
oleh-oleh khas Cirebon untuk dibawa ke Bandung.
Aku sangat
senang, meski awalnya malas minta ampun. Aku senang bisa mengobrol dengan
Hafidz, bercanda dengannya. Bisa lebih mengenalnya.
Mengapa hari ini
begitu cepat? Nampaknya sang waktu iri pada kebersamaan aku dan Hafidz. Sungguh,
tak ingin ku akhiri saat-saat bersamanya seperti saat ini.
“Besok kamu
pulang ke Bandung ya?” tanyaku sedikit berteriak, karena jalanan cukup ramai.
“Iya nih. Jangan
kangen ya. Hehehe” jawab Hafidz tak kalah berteriak.
Aku hanya
tersenyum. Biarlah Hafidz konsen menyetir, kalau diajak ngobrol terus bahaya
juga.
***
Rasanya aku tak
ingin hari ini tiba! Hafidz dan saudara kembar itu akan kembali ke Bandung.
“Makasih buat
semuaanya ya tante, maaf kalo ngerepotin. Hehehe” Arif berpamitan pada mama.
“Salam buat om
ya tante kalau pulang nanti, lagi keluar kota ya?” Ainun menambahi.
“Nggak
ngerepotin kok, tante malah seneng ada kalian. Rumah jadi rame, Riza juga nggak
sendirian. Iya om lagi ke Banten, ntar salamnya tante sampein kok”
“Fidz, mau
ngomong sesuatu nggak sama Riza?” celoteh Arif.
“Eh apaan sih”
sergahku.
Hafidz
menggeleng tersenyum, “enggak ada”
Jujur, sedikit
ada rasa kecewa dihatiku. Apa perasaan ini hanya aku saja yang merasakan?
Setelah mereka
pergi, aku merapihkan kamar tamu tempat Arif dan Hafidz tidur. Ada buku kecil,
seperti buku diary tergeletak di lantai sebelah tempat tidur. Aku membukanya.
Tertulis “Milik Hafidz Al-Fatih (Sang Penakluk)”. Iya Fidz, kamu berhasil
menaklukan hatiku……..
Dihalaman terakhir,
tertulis :
“Aku bukan hanya
jatuh cinta pada Kota Udang ini, pada bebasan Cirebon yang tak sama sekali aku
mengerti, tapi aku juga jatuh cinta pada gadis bernama Riza. Hatiku tertinggal
di Cirebon :)"